EKONOMI MENURUT AL-QUR'AN
AKTIVITAS
EKONOMI
Aktivitas
antar manusia termasuk aktivitas ekonomi terjadi
melalui apa
yang diistilahkan oleh
ulama dengan mu'amalah
(interaksi).
Pesan utama Al-Quran dalam mu'amalah keuangan
atau
aktivitas ekonomi adalah:
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan
atau melakukan interaksi keuangan di
antara kamu secara
batil... (QS Al-Baqarah [2]: 188).
Kata "batil" diartikan
sebagai "segala sesuatu
yang
bertentangan
dengan ketentuan dan nilai agama".
Bukan di
sini tempatnya merinci cakupan
kata batil, apalagi
Al-Quran sejalan dengan sikapnya terhadap hal-hal yang bukan
bersifat ibadah
murni pada dasarnya
tidak memberikan
perincian.
Ini untuk memberikan peluang kepada manusia
atau
masyarakat yang
sifatnya selalu berubah, agar menyesuaikan
diri
dengan perubahan masyarakat
sepanjang sejalan dengan
nilai-nilai
Islam.
NILAI-NILAI
ISLAM
Secara
umum dapat dikatakan bahwa nilai-nilai Islam
terangkum
dalam empat
prinsip pokok: tauhid,
keseimbangan, kehendak
bebas,
dan tanggung jawab.
Tauhid mengantar
manusia mengakui bahwa
keesaan Allah
mengandung konsekuensi
keyakinan bahwa segala
sesuatu
bersumber
serta kesudahannya berakhir pada Allah
Swt. Dialah
Pemilik mutlak
dan tunggal yang dalam genggaman-Nya segala
kerajaan
langit dan bumi. Keyakinan demikian mengantar seorang
Muslim
untuk menyatakan:
Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku,
dan matiku
adalah semata-mata demi karena Allah,
Tuhan seru
sekalian alam.
Prinsip ini
menghasilkan
"kesatuan-kesatuan"
yang beredar
dalam orbit
tauhid, sebagaimana beredarnya
planet-planet
tatasurya
mengelilingi matahari. Kesatuan-kesatuan itu, antara
lain,
kesatuan kemanusiaan, kesatuan alam raya, kesatuan dunia
dan
akhirat, dan 1ain-lain.
Keseimbangan
mengantar manusia Muslim meyakini bahwa
segala
sesuatu
diciptakan Allah dalam keadaan seimbang dan serasi,
Engkau tidak menemukan sedikitpun
ketidakseimbangan
dalam ciptaan Yang Maha Pengasih.
Ulang-ulanglah
mengamati! Apakah engkau melihat sedikit
ketimpangan?
(QS Al-Mulk [67]: 3)
Prinsip
ini menuntut manusia bukan saja hidup seimbang serasi,
dan selaras
dengan dirinya sendiri, tetapi
juga menuntunnya
untuk
menciptakan ketiga hal tersebut
dalam masyarakatnya,
bahkan
alam seluruhnya.
Kehendak bebas
adalah prinsip yang mengantar
seorang Muslim
meyakini
bahwa Allah Swt. memiliki kebebasan mutlak namun Dia
juga menganugerahkan kepada
manusia kebebasan untuk memilih
dua
jalan yang terbentang di hadapannya
--baik dan buruk.
Manusia yang
baik di sisi-Nya
adalah manusia yang mampu
menggunakan
kebebasan itu dalam rangka penerapan tauhid
dan
keseimbangan di
atas. Dari sini lahir prinsip tanggung jawab
baik
secara individu maupun kolektif. Dalam konteks ini, Islam
memperkenalkan konsep
fardhu 'ain dan jardhu kifayah. Yang
pertama adalah
kewajiban individual yang
tidak dapat
dibebankan kepada
orang lain sedang
yang kedua adalah
kewajiban yang
bila dikerjakan oleh
orang lain sehingga
terpenuhi kebutuhan
yang dituntut, maka terbebaskanlah semua
anggota
masyarakat dari pertanggungjawaban (dosa). Tetapi bila
tidak seorang
pun yang mengerjakannya, atau
dikerjakan oleh
sebagian
orang namun belum memenuhi apa yang seharusnya,
maka
berdosalah
setiap anggota masyarakat.
Keempat
prinsip yang disebut di atas, harus mewarnai aktivitas
setiap
Muslim, termasuk aktivitas ekonominya.
Prinsip
tauhid mengantarkan manusia dalam
kegiatan ekonomi
untuk menyakini bahwa harta benda yang berada dalam
genggaman
tangannya
adalah milik Allah, yang antara
lain diperintahkan
oleh Pemiliknya
agar diberikan (sebagian)
kepada yang
membutuhkan:
Dan berilah kepada mereka (yang
membutuhkan) harta yang
diberikan-Nya kepada kamu (QS Al-Nur [24]:
33).
Dalam
pandangan agama Islam, harta
kekayaan bahkan segala
sesuatu adalah
milik Allah. Memang
jika diamati dengan
saksama,
hasil-hasil produksi yang dapat
menghasilkan uang
atau
harta kekayaan, tidak lain kecuali hasil rekayasa manusia
dari
bahan mentah yang telah disiapkan oleh
Tuhan Yang Maha
Esa.
Di sisi
lain, keberhasilan para
pengusaha bukan hanya
disebabkan
oleh hasil usahanya sendiri, tetapi
terdapat juga
partisipasi
orang lain atau masyarakat. Bukankah para pedagang
--misalnya--
membutuhkan para pembeli agar hasil produksi atau
barang dagangannya
terjual? Bukankah petani
membutuhkan
irigasi
demi kesuburan pertaniannya? Bukankah
para pengusaha
membutuhkan stabilitas
keamanan guna lancarnya roda keuangan
dan
perdagangan? Dan masih
banyak lagi yang
lain. Kalau
demikian, wajar
jika Allah memerintahkan
manusia untuk
menyisihkan
sebagian dari apa yang
berada dalam genggaman
tangannya ("miliknya") demi kepentingan
masyarakat umum. Dari
sini
agama menetapkan keharusan adanya
fungsi sosial bagi
harta
kekayaan.
Tauhid, yang
menghasilkan keyakinan kesatuan
dunia dan
akhirat,
mengantar seorang pengusaha
untuk tidak mengejar
keuntungan
material semata, tetapi keuntungan yang lebih kekal
dan
abadi.
Prinsip
tauhid yang menghasilkan pandangan tentang
kesatuan
umat manusia
mengantar seorang
pengusaha Muslim untuk
menghindari
segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia.
Dari sini
dapat dimengerti mengapa Islam bukan saja melarang
praktek riba
dan pencurian, tetapi
juga penipuan walau
terselubung, bahkan
sampai kepada larangan menawarkan barang
pada
saat konsumen menerima tawaran yang sama dari orang lain.
Prinsip
keseimbangan mengantar kepada pencegahan segala bentuk
monopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu
tangan atau
satu
kelompok. Atas dasar ini pula Al-Quran
menolak dengan
amat
tegas daur sempit yang menjadikan kekayaan hanya berkisar
pada
orang-orang atau kelompok tertentu.
Supaya harta itu tidak hanya beredar pada
orang-orang
kaya saja di antara kamu... (QS Al-Hasyr
[59]: 7).
Dari
sini juga datang larangan penimbunan dan pemborosan. Hal
ini tercermin
pada ayat 34 surat At-Taubah yang memberikan
ancaman
sedemikian keras kepada para penimbun,
serta sabda
Nabi
Muhammad Saw. berikut:
Siapa yang menimbun makanan selama empat
puluh hari,
dengan tujuan menaikkan harga, maka ia
telah berlepas
diri dari Allah, dan Allah juga berlepas
diri darinya.
Ayat
dan hadis-hadis Nabi seperti di atas oleh sementara pakar
dijadikan dasar
pemberian wewenang kepada
penguasa untuk
mencabut hak
milik perusahaan spekulatif
yang melakukan
penimbunan, penyelundupan, dan
yang mengambil keuntungan
secara
berlebihan, karena penimbunan mengakibatkan
kenaikan
harga
yang tidak semestinya.
Di
sisi lain pemborosan pun dilarang juga:
Makan dan minumlah, tetapi jangan
berlebih-lebihan;
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang
yang
berlebih-lebihan (QS Al-A'raf [7]: 31).
Pemborosan
dan sikap konsumtif dapat menimbulkan
kelangkaan
barang-barang yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan
akibat
kenaikan
harga-harga.
Dalam
rangka memelihara keseimbangan itu,
Islam menugaskan
Pemerintah untuk
mengontrol harga, bahkan
melakukan
langkah-langkah
yang diperlukan untuk
menjamin agar-paling
tidak
bahan-bahan kebutuhan pokok dapat diperoleh dengan mudah
oleh
seluruh anggota masyarakat.
Dalam
konteks ini, Nabi Muhammad Saw. menyebutkan bahwa:
Masyarakat berserikat dalam tiga hal: air,
rumput, dan
api (HR Abu Daud).
Tiga
komoditi ini merupakan kebutuhan masyarakat
pada masa
Nabi Saw.,
dan tentunya setiap
masyarakat dapat memiliki
kebutuhan-kebutuhan
lain, yang dengan demikian masing-masing
dapat
menyesuaikan diri dengan kebutuhannya.
Semua hal
yang disebut di atas harus dipertanggungjawabkan
oleh
manusia demi terlaksananya keadilan baik secara
individu
maupun
kolektif.
Demikian sekilas yang dilahirkan oleh prinsip dan
nilai Islam
dalam
bidang ekonomi.
Dalam perkembangan
perekonomian sesudah turunnya
A1-Quran
telah lahir
institusi-institusi serta kondisi
yang
diperselisihkan
keabsahannya dari segi syariat seperti
halnya
dengan perbankan
konvensional. Sementara ulama mempersamakan
praktek
perbankan itu dengan riba, sementara
ulama lainnya
mentoleransinya dengan
syarat-syarat tertentu, antara lain
bahwa
bank yang menyalurkan kredit haruslah
bank pemerintah,
karena
keuntungan yang diperolehnya pada akhirnya akan kembali
juga
ke masyarakat. Berikut akan
disoroti hal tersebut
dan
segi
penafsiran ayat riba.
RIBA
Keraguan terjerumus
ke dalam riba yang diharamkan menjadikan
para sahabat
Nabi, seperti ucap
Umar ibn Khaththab,
"Meninggalkan sembilan
per sepuluh dari
yang halal." Ini
disebabkan
karena mereka tidak memperoleh informasi yang
utuh
tentang
masalah ini langsung dari Nabi Muhammad Saw.
Kata riba
dari segi bahasa berarti "kelebihan". Kalau
kita
hanya
berhenti pada makna kebahasaan ini, maka
logika yang
dikemukakan para
penentang riba pada masa Nabi
dapat
dibenarkan. Ketika
itu mereka berkata
--seperti yang
diungkapkan
Al-Quran-- bahwa "jual beli sama saja dengan riba"
(QS
Al-Baqarah [2]: 275), Allah menjawab mereka
dengan tegas
bahwa "Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba."
Penegasan
ini dikemukakan-Nya tanpa menyebut
alasan secara
eksplisit, namun dapat dipastikan bahwa pasti ada alasan
atau
hikmah
sehingga ini diharamkan dan itu dihalalkan.
Dalam
Al-Quran ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalam
empat surat,
tiga di antaranya turun setelah Nabi hijrah dan
satu
ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Yang di Makkah,
walaupun menggunakan
kata riba (QS Al-Rum [30]: 39), ulama
sepakat
bahwa riba yang dimaksud di sana bukan riba yang haram
karena ia
diartikan sebagai pemberian
hadiah, yang bermotif
memperoleh
imbalan banyak dalam kesempatan yang lain.
Upaya
memahami apa yang dimaksud dengan riba
adalah dengan
mempelajari
ayat-ayat yang turun di Madinah, atau lebih khusus
lagi
kata-kata kunci pada ayat-ayat
tersebut yaitu adh'afan
mudha'afah (berlipat
ganda), ma baqiya minarriba (apa yang
tersisa
dari riba) dan falakum ru'usu amwalikum,
la tazlimun
wa
la tuzlamun.
Sementara ulama,
semacam Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha,
memahami
bahwa riba yang diharamkan Al-Quran hanya
riba yang
berlipat ganda.
Lipat ganda yang
dimaksud di sini adalah
"pelipatgandaan
yang berkali-kali".
Memang
pada zaman jahiliah dan awal Islam,
apabila seorang
debitur yang
tidak mampu membayar hutangnya pada saat yang
ditentukan, ia
meminta untuk ditangguhkan
dengan janji
membayar
berlebihan, demikian berulang-ulang.
Sikap semacam
ini amat dikecam
oleh Al-Quran, sebagaimana
firman
Allah:
Bila debitur berada dalam kesulitan, maka
hendaklah
diberi tangguh hingga ia memperoleh
keleluasaan dan
menyedekahkan (semua atau sebagian dan
piutang) (lebih
baik untuknya jika kamu mengetahui) (QS
Al-Baqarah [2]:
280).
Pendapat yang
memahami riba yang
diharamkan hanya yang
berlipat ganda,
tidak diterima oleh banyak ulama. Bukan saja
karena masih
ada ayat lain
yang turun sesudahnya,
yang
memerintahkan
untuk meninggalkan sisa riba yang belum diambil,
tetapi juga
karena akhir ayat
yang turun tentang
riba,
memerintahkan untuk
meninggalkan sisa riba. Dan bila
mereka
mengabaikan
hal ini, maka Tuhan mengumumkan perang
terhadap
mereka
sedang
Bila kamu bertobat, maka bagi kamu
modalmu, (dengan
demikian) Kami tidak menganinya dan tidak
pula dianiaya
(QS Al-Baqarah [2]: 279).
Hemat penulis,
inilah kata kunci
yang terpenting dalam
persoalan riba,
dan atas dasar
inilah kita dapat menilai
transaksi
hutang piutang dewasa ini, termasuk
praktek-praktek
perbankan.
Kesimpulan yang
dapat kita peroleh dari ayat-ayat Al-Quran
yang
berbicara tentang riba, demikian pula
hadis Nabi dan
riwayat-riwayat lainnya
adalah, bahwa riba yang dipraktekkan
pada
masa turunnya Al-Quran adalah kelebihan
yang dipungut
bersama jumlah
hutang, pungutan yang mengandung penganiayaan
dan
penindasan, bukan sekadar kelebihan
atau penambahan dan
jumlah
hutang.
Kesimpulan di
atas diperkuat pula dengan praktek Nabi Saw.
yang membayar
hutangnya dengan berlebihan.
Dalam konteks
pembayaran
berlebihan inilah Nabi Saw. bersabda:
Sebaõk-baik manusia
adalah yang sebaik-baik membayar hutang.
(Diriwayatkan
oleh Muslim melalui sahabat Nabi
A'bi Rafi',
yakni antara
lain
"melebihkan".
Hanya tentu harus
digarisbawahi
bahwa kelebihan pembayaran itu
tidak bersyarat
pada
awal transaksi)
Nah,
bagaimana dengan praktek perbankan dewasa ini?
Ulama sejak
dahulu hingga kini belum dan besar kemungkinan
tidak
akan sepakat, karena sikap kehati-hatian tetap menghiasi
diri
orang-orang yang bertakwa.
***
Demikian
sekelumit dan prinsip-prinsip ajaran Al-Quran tentang
ekonomi. Intinya
adalah keadilan, kerja
sama, serta
keseimbangan dan
lain-lain. Dan semua
itu tercakup dalam
larangan
melakukan transaksi apa pun yang
berbentuk batil,
eksploitasi
atau segala bentuk penganiayaan.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar