Minggu, 12 Agustus 2012

PENGADAIAN SYARI’AH DAN PENGGADAIAN KONVENSIONAL

PENGADAIAN SYARI’AH DAN PENGGADAIAN KONVENSIONAL
Cara-cara Pegadaian syariah dan konvensional mendapat dana atau modal dalam pengembangan usahanya…!
Gadai merupakan suatu hak, yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak yang dijadikan sebagai jaminan pelunasan atas hutang. Dan Pegadaian merupakan “trademark” dari lembaga Keuangan milik pemerintah yang menjalankan kegiatan usaha dengan prinsip gadai. Sesuai dengan PP103 tahun 2000 pasal 8, Perum Pegadaian melakukan kegiatan usaha utamanya dengan menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai serta menjalankan usaha lain seperti penyaluran uang pinjaman berdasarkan jaminan fidusia, layanan jasa titipan, sertifikasi logam mulia dan batu adi, toko emas, industri emas dan usaha lainnya. Sejalan dengan kegiatannya, Pegadaian mengemban misi untuk ; turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama golongan menengah ke bawah menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktik riba dan pinjaman tidak wajar lainnya.
Pegadaian Konvensional
Kegiatan menjaminkan barang-barang untuk memperoleh sejumlah uang dan dapat ditebus kembali setelah jangka waktu tertentu tersebut disebut dengan nama usaha gadai. Dengan usaha gadai masyarakat tidak perlu takut kehilangan barang-barang berharganya dan jumlah uang yang diinginkan dapat disesuaikan dengan harga barang yang dijaminkan. Perusahaan yang menjalankan usaha gadai disebut perusahaan pegadaian dan secara resmi satu-satunya usaha gadai di Indonesia hanya dilakukan oleh Perusahaan Pegadaian.
Secara umum pengertian usaha gadai adalah dengan lembaga gadai. kegiatan menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah.

Pegadaian Syariah
Terbitnya PP/10 tanggal 1 April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Alloh SWT dan setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah.
Konsep operasi Pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi Pegadaian Syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor Cabang Pegadaian Syariah/ Unit Layanan Gadai Syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di bawah binaan Divisi Usaha Lain Perum Pegadaian. ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara struktural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional.

PRODUK-PRODUK PEGADAIAN
1. KCA (Kredit Cepat Aman)
Pemberian kredit sistem gadai, prosesnya cepat (hanya 15 menit), aman dan mudah prosedurnya, dengan jaminan barang bergerak seperti perhiasan (emas dan berlian), kendaraan bermotor dan barang bergerak lainnya.
2. KRASIDA (Kreddit Angsuran Sistem Gadai)
Pemberian kredit gadai bagi usaha mikro & kecil dengan sistem angsuran bunga 1% / bulan, jangka waktu maksimal 3 tahun dengan jaminan barang bergerak seperti perhiasan (emas dan berlian), kendaraan bermotor (sepeda motor & mobil), dan barang bergerak lainnya (sama dengan KCA).
3. KREASI (Kredit Angsuran Sistem Fidusia)
Pemberian kredit sistem fidusia bagi usaha mikro & kecil dengan sistem angsuran bung 1%/bulan, jangka waktu maksimal 2 tahun. Barang jaminan BPKB dan survey kelayakan usaha.
4. JASA TAKSIRAN
Layanan untuk memberikan penilaian berbagai jenis dan kualitas perhiasan emas dan berlian. Penaksir-penaksir kami akan menjelaskan kepada nasabah akan karatase dan keaslian perhiasan nasabah.
5. JASA TITIPAN
Layanan penitipan/penyimpanan surat berharga / dokumen / sertifikat dan barang berharga lainnya. Prosedur mudah, biaya murah dan barang / dokumen nasabah akan aman.

TUJUAN PENDIRIAN
Pada saat pendirian syaraih oleh Bank Muamalat Indonesia dan Perum Pegadaian melalui program musyarakah ditetapka visi dan misi dari pegadaian syariah yang akan didirikan, yang keduanyA mensiratkan tujuan didirikannya pegadaian syariah. Visi pegadaian syariah adalah menjadi lembaga keuangan syariah terkemuka di Indonesia. Sedangkan misinya ada tiga:
a. Memberikan kemudahan kepada masyarakat yang ingin melakukan transaksi ang halal.
b. Memberikan superior return bagi investor
c. Memberikan ketenangan kerja bagi karyawan.
Jadi tujuan pendirian pegadaian syariah meliputi seluruh stakeholder yang berkaitan dengan usaha layanan pegadaian yaitu masyarakat, investor, dan karyawan.
Mengenai rukun dan sahya akad gadai dijelaskan oleh Pasaribu dan Lubis sebagai berikut :
1. Adanya lafaz, yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai. (Ijab Qabul / sighot) Lafaz dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.
2. Adanya pemberi dan penerima gadai. (Aqid)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang bertransaksi gadai yaitu rahin (pemberi gadai) dan murthahin (penenima gadai) adalah Pemberi dan penerima gadai haruslah orang yang berakal dan balig sehingga dapat dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari’at Islam.
3. Adanya barang yang digadaikan. (Marhun)
Barang yang digadaikan harus ada pada saat dilakukan perjanjian gadai dan barang itu adalah milik si pemberi gadai, barang gadaian itu kemudian berada dibawah pengasaan penerima gadai.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh rahin (pemberi gadai) adalah:
a. dapat diserah terimakan
b. bermanfaat
c. milik rabin (orang yang menggadaikan)
d. jelas
e. tidak bersatu dengan harta lain
f. dikuasai oleh rahin
g. Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.
Abu Bakr Jabir Al-Jazairi dalam buku “Minhajul Muslim” menyatakan bahwa barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan, tidak boleh digadaikan, kecuali tanaman dan buah-buahan dipohonnya yang belum masak. Karena penjualan tanaman dan buahbuahan dipohonnya yang belum masak tersebut haram, namun untuk dijadikan barang gadai hal ini diperbolehkan, karena didalamnya tidak memuat unsur gharar bagi murthahin. Dinyatakan tidak mengandung unsur gharar karena piutang murthahin tetap ada kendati tanaman dan buah-buahan yang digadaikan kepadanya mengalami kerusakan (AlJazairi, 2000: 532).
4. Adanya utang/ hutang.
Hutang yang terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga atau mengandung unsur riba.
Menurut ulama Hanafiyah dan Syafiiyah syarat utang yang dapat dijadikan alas gadai adalah:
a. berupa utang yang tetap dapat dimanfaatkan;
b. utang harus lazim pada waktu akad;
c. utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
Jika ada perselisihan mengenai besarnya hutang antara rahin dan murthahin, maka ucapan yang diterima ialah ucapan rahin dengan disuruh bersumpah, kecuali jika murthahin bisa mendatangkan barang bukti. Tetapi jika yang diperselisihkan adalah mengenai marhun, maka ucapan yang diterima adalah ucapan murthahin dengan disuruh bersumpah, kecuali jika rahin bisa mendatangkan barang bukti yang menguatkan dakwaannya, karena. Rasulullah SAW bersabda: “barang bukti dimintakan dari orang yang mengklaim dan sum pah dimintakan dan orang yang tidak mengaku”. (Diriwayatkan Al-Baihaqi dengan sanad yang baik) (Al-Jazairi, 2000: 533).
Jika murthahin mengklaim telah mengembalikan rahn dan rahin tidak mengakuinya, maka ucapan yang diterima adalah ucapan rahin dengan disuruh bersumpah, kecuali jika murthahin bisa mendatangkan barang bukti yang menguatkan klaimnya (Al-Jazairi, 2000: 533).
Madzhab Maliki berpendapat bahwa gadai wajib dengan akad, setelah akad orang yang menggadaikan (rahin) dipaksakan untuk menyerahkan barang untuk dipegang oleh yang memegang gadaian (murtahin) (Sayyid Sabiq, 1987: 141). Sedangkan menurut Al-Jazairi marbun boleh dititipkan kepada orang yang bisa dipercaya selain murthahin sebab yang terpenting dan marhun tersebut dapat dijaga dan itu bisa dilakukan oleh orang yang bisa dipercaya (Al-Jazairi, 2000: 532).

OPERASIONALISASI PEGADAIAN SYARIAH
Implementasi operasi Pegadaian Syariah hampir bermiripan dengan Pegadaian konvensional. Seperti halnya Pegadaian konvensional, Pegadaian Syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak.Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang tidak relatif lama ( kurang lebih 15 menit saja ). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja dengan waktu proses yang juga singkat.
Di samping beberapa kemiripandari beberapa segi, jika ditinjau dari aspek landasan konsep; teknik transaksi; dan pendanaan, Pegadaian Syariah memilki ciri tersendiri yang implementasinya sangat berbeda dengan Pegadaian konvensional. Lebih jauh tentang ketiga aspek tersebut, dipaparkan dalam uraian berikut.
Sebagaimana halnya instritusi yang berlabel syariah, maka landasan konsep pegadaian Syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadist Nabi SAW. Adapun landasan yang dipakai adalah :
Quran Surat Al Baqarah : 283
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan
Hadist
Aisyah berkata bahwa Rasul bersabda : Rasulullah membeli makanan dari seorang yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi. HR Bukhari dan Muslim
Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda : Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya. HR Asy’Syafii, al Daraquthni dan Ibnu Majah
Nabi Bersabda : Tunggangan ( kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan bintanag ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. HR Jamaah, kecuali Muslim dan An Nasai. Dari Abi Hurairah r.a. Rasulullah bersabda : Apabila ada ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki (oleh yang menerima gadai), karena ia telah mengeluarkan biaya ( menjaga)nya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya. HR Jemaah kecuali Muslim dan Nasai-Bukhari
Ijtihad Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa disyariatkan pada waktu tidak berpergian maupun pada waktu berpergian, berargumentasi kepada perbuatan Rasulullah SAW terhadap riwayat hadis tentang orang Yahudi tersebut di Madinah Di samping itu, para ulama sepakat membolehkan akad Rahn ( al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, 1985,V:181)
Landasan ini kemudian diperkuat dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional no 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
A. Ketentuan Umum :
a. Murtahin (penerima barang) mempunya hak untuk menahan Marhun ( barang ) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
b. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya.
c. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
d. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
e. Penjualan marhun
1.Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.
2.Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi.
3.Hasil Penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
4.Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
B. Ketentuan Penutup
1. Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbritase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagai mana mestinya.
C. Teknik Transaksi
Sesuai dengan landasan konsep di atas, pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu.
1. Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
2. Akad Ijaroh. Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad
rukun dari akad transaksi tersebut meliputi :
a. Orang yang berakad : 1) Yang berhutang (rahin) dan 2) Yang berpiutang (murtahin).
b. Sighat ( ijab qabul)
c. Harta yang dirahnkan (marhun)
d. Pinjaman (marhun bih)
Dari landasan Syariah tersebut maka mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut : Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi :
1. Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
2. Marhun Bih ( Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu.
3. Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya,milik sah penuh dari rahin, tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun manfaatnya.
4. Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
5. Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa: biaya asuransi,biaya penyimpanan,biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi.
Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.
Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad dengan kesepakatan :
1. Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat bulan .
2. Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 80,- (delapan puluh rupiah) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunasi pinjaman.
3. Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada saat pencairan uang pinjaman. Dengan ketentuan sebagai berikut:
Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk :
o melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan,
o mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditambah bea administrasi,
o atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.
Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan, maka Pegadaian Syariah melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil Uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.

PENDANAAN
Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal kerja.

PERBEDAAN PEGADAIAN KONVENSIONAL DAN PEGADAIAN SYARIAH
Dari uraian diatas dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu
1. Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
2. Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan.
Pegadaian syariah tidak menekankan pada pemberian bunga dari barang yang digadaikan. Meski tanpa bunga, pegadaian syariah tetap memperoleh keuntungan seperti yang sudah diatur oleh Dewan Syariah Nasional, yaitu memberlakukan biaya pemeliharaan dari barang yang digadaikan. Biaya itu dihitung dari nilai barang, bukan dari jumlah pinjaman. Sedangkan pada pegadaian konvensional, biaya yang harus dibayar sejumlah dari yang dipinjamkan.

Perbandingan Perhitungan Gadai Syariah dengan Gadai Konvensional
Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal kerja.
Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu
Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan



EPILOG: Buku Asuransi Syariah (Life & General) Konsep dan Sistem Operasional Oleh Muhammad syafi’i Antonio, Ph.D.


EPILOG:
Buku Asuransi Syariah (Life & General) Konsep dan Sistem Operasional

Oleh Muhammad syafi’i Antonio, Ph.D.

Pendahuluan
Pertama kali membaca buku ini ibarat memasuki sebuah gedung besar bertuliskan, “supermarket asuransi syariah”. Hampir semua “barang” yang berkaitan dengan asuransi syariah disajikan di “toko” nanlengkap ini. Penulis membahas tema-tema asuransi secara ensiklopedik dari mulai konsep fiqih seperti al-‘aqila, al-muwalat, sistem operasional life dan general insurance, masalah underwriting, loading, aktuaria, Dewan Pengawas Syariah, hingga konsep dan penerapan akad mudharabah dalam asuransi syariah. Masalah-masalah magrib (maisir, gharar, dan riba) juga dibahas secara rinci dan mendalam. Hal yang harus dihindari ini dianalisis berbarengan dengan hal yang harus diadopsi oleh sebuah perusahaan asuransi syariah, seperti strategi marketing, corporate culture and good corporate governance. Tidak berlebihan jika buku ini merupakan buku asuransi syariah terlengkap pertama dalam bahasa Indonesia.

Literature Review : dari Zarqa hingga Ma’sum Billah
 Harus diakui, khazanah buku asuransi syariah tidak sebanyak buku perbankan syariah terlebih dalam bahasa Indonesia. Para ulama hampir sepakat bahwa pembahasan pertama asuransi syariah dilakukan oleh Ibnu Abidin, seorang tokoh mutaakhirin dari mazhab Hanafi. Dalam Hasyiyyah Ibnu Abidin, Ibnu Abidin membahas tentang dimungkinkannya ada pihak ketiga yang menjadi penjamin pengiriman barang antarnegara melalui laut. Di awal abad ke-14, pembahasan Ibnu Abidin ini jelas sudah sangat maju dan mendekati apa yang disebut dengan Marine Hull Coverage saat ini. Terobosan Ibnu Abidin juga sangat didukung oleh intellectual exercise frame work fiqih Hanafi yang memberikan keleluasaan untuk eksplorasi kasus atau lebih dikenal dengan istilah fiqh iftiradhi.
      Di antara cendekiawan modern yang meneruskan langkah pionir Ibnu Abidin dalam kajian fiqih asuransi adalah Abu Zahrah dan Mustafa Ahmad Zarqa. Syekh Abu Zahra, seorang guru besar Universitas Al-Azhar Kairo,  menulis at-Takaful al-Ijtima`i Fil Islam (Jaminan Sosial dalam Islam: diterbitkan oleh Darul Qaumiyyah lil Tiba`ah wal Nasyr, Kairo, 1964). Tulisan Abu Zahrah lebih dekat dengan social insurance yang mengedepankan prinsip kerja sama, saling menanggung dan membantu. Karya pertama yang benar-benar membahas modern commercial insurance ditulis oleh Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa, seorang Guru Besar Fiqih dan Hukum Perdata  Unversity of Jordan dan Damascus University, dalam buku berjudul Az-Zarqa, Aqdut Ta`min Wamauqifus Syariah Al-Islamiyah Minhu (Damaskus, 1962). Karya monumental Zarqa memang menuai kontroversi dari banyak kalangan ulama modern yang tidak sependapat dengannya dan menuduh Zarqa sudah nyeleneh dalam interpretasi pakem fiqih klasik. Sebagai seorang mahasiswa Fakultas Syariah di University of Jordan yang kebetulan diajar juga oleh Zarqa untuk mata kuliah Mabadi’ fil-Fiqhul-Islami  (Dasar-Dasar Fiqih Islam), saya mendapat kesempatan untuk melakukan eksplorasi terhadap kontroversi ini. Setelah diskusi panjang dengan Zarqa dan membaca karya besar beliau lainnya yang berjudul al-Madkhalil-Fiqhul A’m, al-fiqh fi Tsaubihi al-Jadid (Fiqih dalam Bajunya yang Baru: Pengantar Umum), saya baru mengerti bahwa Zarqa telah melakukan ijtihad yang sangat berani dan cemerlang terhadap konsep taqdir, ikhtiyar, dan interpretasi institusi aqilah dan diyat dalam fiqih klasik. Dari pemikiran Zarqa inilah sesungguhnya institusi asuransi syariah modern mendapat pijakan yang kuat. Saya masih ingat betul sekitar tahun 1988 atau 1989 banyak praktisi keuangan Malaysia dan Timur Tengah yang akan mendirikan perusahaan asuransi syariah mondar-mandir ke fakultas syariah berjumpa Mustafa Zarqa untuk mendapat arahan dan masukan darinya.
Sebagai kelanjutan karya pionir Zarqa dan Zahra, dalam kajian yang lebih kuantitatif operasional kita memiliki dua kelompok besar literatur: dari cendekiawan Timur Tengah dan cendekiawan/praktisi non-Arab. Cendekiawan non-Arab terbagi juga ke dalam empat kelompok: Iran, Indian subcontinent (India, Pakistan, Bangladesh), Malaysia, dan Indonesia. Di antara penulis Arab yang cukup produktif dalam pembahasan asuransi syariah adalah Muhammad bin Ahmad ash-Shalih, Latif Abdul Mahmud al-Mahmud dan Yunus Rafiq al-Misri dalam bukunya at-Takaful al-Ijtima`i Fii Asy-Syari`ah al-Islamiyyah wa Dauruhu fii Himaayah al-Maal al `Aam wal Khaash, Universitas Islam Imam Muhammad bin Sa`ud, Arab Saudi, 1407 H dan al-Khathar wat-Ta`min, (Darul Qalam Damaskus, cet I, 2002), at-Ta`min al-Ijtima`i  Fi Dhanu`i asy-Syari`ah al-Islamiyah, (Darun Nafais, Beirut, 1994). Di kalangan penulis Indian subcontinent, nama Mohammad Muslehuddin sangat terkenal karena buku beliau yang berjudul  Insurance in Islam telah diterbitkan oleh Islamic Research Academy, London, pada tahun 1967. Beliau ini agak berbeda Khurshid Ahmad, Umer Chapra, Nejatullah Shiddiqi, Muhammad Uzair, dan Fahim Khan yang lebih banyak menulis tentang perbankan dan analisis ekonomi makro dalam perspektif Islam. Sementara intelektual Iran yang paling banyak menulis tentang keuangan dan asuransi syariah adalah Muhammad Baqr Sadr dengan bukunya Iqtishaduna dan Bank al La Ribawi serta Murtadha Muthahhari dengan bukunya ar-Riba wat-Ta`min.
Berbeda dengan para penulis dari Arab, Indian subcontinent dan Iran analisis kuantitatif yang lebih praktikal disajikan oleh para cendekiawan dan praktisi asuransi dari Malaysia. Di antara mereka yang paling awal adalah Mohd  Fadzli Yusof, Managing Director Syarikat Takaful Malaysia dan juga salah seorang Komisaris Senior Syarikat Takaful Indonesia. Fadzli Yusof menulis buku berjudul Takaful: Sistem Insurans Islam (diterbitkan oleh Tinggi Press. SDN BHD, Malaysia tahun 1976). Karya lain Fadzli Yusof adalah “Toward An Islamic System Of Insurance” (Makalah Seminar Sehari Takaful Asuransi Syariah, ICMI-BMI, 1993), Brief Outline On The Concept and Operational System of Takaful Business (BIRT, Malaysia, 1996). Tokoh lain adalah Datuk Abdul Halim Ismail, Bapak Perbankan Syariah Malaysia, pemikiran takaful Abdul Halim dituangkan dalam tulisannya “Investment of Takaful Fund” (disampaikan pada The Internasional Conference on Islamic Insurance, Kuala Lumpur, 1998).
      Di antara akademisi Malaysia yang paling menonjol dalam kajian asuransi adalah Tan Sri Datuk Ahmad Mohammad Ibrahim dan Daud Bakar. Datuk Ahmad Mohammad Ibrahim adalah salah seorang ahli hukum Islam paling terkemuka di Malaysia dan Singapura yang namanya diabadikan menjadi jalan di Singapura dan nama Fakultas Hukum International Islamic University Malaysia. Tulisannya berjudul The Philosophy of Islamic Insurance Shariah Concepts And Principles, Kuala Lumpur, Malaysia, 1998). Sementara Mohd Daud Bakar adalah Deputy Rector International Islamic University Malaysia. Tulisannya berjudul  Challenges And Prospect of Takaful Business (1998), Distribution and Compensation Issues of Takaful Products (1999).
Generasi penerus Fadzli Yusof yang paling produktif adalah Mohd Ma’sum Billah. Kelebihan Ma’sum adalah penguasaan teknikalnya dan tinggi dan kerangka analisisnya yang solid sehingga mampu memberikan ide asuransi syariah yang segar. Di antara tulisannya adalah Principles of Contracts Affecting Takaful and Insurance: A Comparative Analysis (1999) dan  Principles & Practices of Takaful and Insurance Compared (2001). Beberapa nama lain yang cukup kreatif dan mengkaji secara mendalam masalah valuation dan accounting asuransi syariah, antara lain Zaiton Mohd Hassan (A Technical Evaluation of Insurance Operations, Malaysian Rating Corporating Berhad, Kuala Lumpur, 1999),  Zainal Abidin Mohd Kassim, (Actuarial Valuation and Techniques-Actuarial and Technical Aspects of Takaful Operational, The International Conference on Islamic Insurance, Malaysia, 1998), Zolkiffly Aziz (Actuarial And Technical Aspects Of The Takaful Business, BIRT, Malaysia, 1996, hlm. 101-102) dan Mohamed Arif Bin Abdul Rashid (Accounting Concept In Takaful Business, BIRT, Malaysia, 1996). Khusus yang terakhir beliau pernah menjabat sebagai Direktur Utama Syarikat Takaful Indonesia dan tinggal di Indonesia lebih dari 4 tahun lamanya.
Khusus untuk Indonesia, tulisan awal tentang sistem operasional asuransi syariah dapat ditemukan dalam makalah Muhammad Syafi’i Antonio, “Asuransi dalam Perspektif  Islam” (STI: 1994), yang ditulis beberapa bulan sebelum Syarikat Takaful Indonesia (STI) berdiri tahun 1994.  Tulisan Antonio membahas tentang konsep takdir dan kaitannya dengan praktik asuransi, keterbatasan kemampuan menabung dalam antisipasi musibah serta contoh analisis sistem operasional asuransi jiwa dan asuransi kerugian (umum) di beberapa negara termasuk pengalaman Syarikat Takaful Malaysia. Meskipun menyimpan banyak kekurangan, sebagai karya perintis, makalah Antonio menjadi rujukan bagi para penulis setelahnya. Tulisan Antonio disusul oleh Juhaya S. Praja, “Asuransi Takaful.” Pranata (edisi I, 1994) dan “Daya Saing Asuransi Takaful Menuju Era Liberalisasi Ekonomi” (Makalah Seminar Asuransi Islam, FMIPA Unpad, tanggal 11 Februari 1995).
      Di antara praktisi yang cukup aktif memberikan pencerahan dalam bentuk karya tulis dan pelatihan adalah Agus Haryadi dan Jafri Khalil (juga Syakir Sula tentunya). Agus Haryadi yang saat buku ini diluncurkan diamanati sebagai Direktur Utama PT Asuransi Takaful Keluarga, anak perusahaan Syarikat Takaful Indonesia adalah Ahli Asuransi Syariah (AAI) pertama Indonesia; satu gelar profesi di bidang asuransi syariah yang diberikan oleh Dewan Asuransi Indonesia (DAI). Di antara tulisan Haryadi, antara lain, “Aspek-aspek Teknik dan Aktuaris Asuransi Jiwa”, bahan materi training Certified Islamic Insurance Spesialis (CIIS), AASI, dan BPPK Depkeu, 2003; “Asuransi Syariah dari Konsep ke Implementasi” (makalah) dipresentasikan dalam workshop wartawan tentang asuransi syariah, Anyer, 2003. Sedikit berbeda dengan Haryadi Jafril Khalil, mantan Direktur Utama Asuransi Mubarakah, lebih menekankan kajian hukum dan fiqih dalam tulisannya. Di antara karya Jafril antara lain, “Asuransi dalam Hukum Islam” (Makalah Workshop Asuransi Syariah, IBI, 2003; “Konsep dan Falsafah Asuransi Syariah” (Makalah Training Certified Islamic Insurance Specialist, Diklat Depkeu, 2003).
Di antara kalangan ulama yang memberikan perhatian cukup besar terhadap asuransi syariah adalah K.H. Latif Mukhtar, manta Ketua Umum Persatuan Islam (Persis). Beliau menulis Asuransi Takaful Sebagai Alternatif Islami untuk Peningkatan Kesejahteraan Sosial: Dalam Gerakan Kembali Ke Islam (Rosda, Bandung, 1998). Mengikuti jejak Latief Mukhtar adalah Anwar Ibrahim, “Tinjauan Fiqih Terhadap Asuransi” (Makalah Lokakarya Asuransi Syari`ah, DSN-MUI, 2001),  Ali Mustafa Ya’qub Pengelolaan Dana Asuransi Syari’ah  (2001: makalah); Huzaemah T. Yanggo, Asuransi Hukum dan Permasalahannya, Jurnal AAMAI Tahun VII No 12-2003.  Di antara para cendekiawan lainnya kita mencatat nama, antara lain, M. Rizal Fadillah, “Tujuh Spektrum Asuransi Takaful” (Makalah Seminar Asuransi Takaful, ATK Cabang Bandung, 1995)  Basuki Agus, AAIJ. “Konsep Dan Operasional Asuransi Takaful Keluarga” (Kopkar, 1997) Masyhuril Khamis, “At-Takaful: Asuransi Syariah Suatu Solusi”  (Makalah, 2000).
Dari paparan singkat literatur (literature review) di atas kita mendapatkan bahwa selain buku Bunga Rampai Asuransi Takaful  (Sari Kusumawati, ed.: 2001) dan buku Riba dan Asuransi (karya terjemahan dari Murtadha Muthahhari), Indonesia nyaris tidak memiliki buku asuransi yang komprehensif. Oleh karena itu, upaya saudara Muhammad Syakir Sula mengumpulkan berbagai aspek tentang asuransi syariah menjadi satu buku yang lengkap patut kita syukuri.


Takdir dan Ikhtiar: Masalah Fiqih dan Ideologis Yang Belum Selesai

Karena ditulis oleh seorang praktisi, buku ini berusaha memaparkan landasan teori yang melandasi berdirinya asuransi  syariah dengan menelusuri konsep–konsep turunan at-ta’min dalam literatur fiqih klasik, seperti al-‘aqila, al-muwalat, al-qasamah, at-tanahud, al-umra dan sebagainya. Kemudian mencoba mengaitkannya dengan apa yang dilakukannya dalam sebuah sintesis yang cukup kritis. Dalam teori penelitian, hal ini dikenal dengan metode participatory research atau observatory participant.
Dalam pembahasannya tentang operasionalisasi asuransi syariah, Syakir mencoba menjelaskan betapa khazanah syariah muamalah memberi ruang bagi praktisi untuk melakukan inovasi, kreativitas, dan improvisasi sesuai dengan perkembangan bisnis modern dengan tetap berpegang pada kaidah-kaidah umum yang telah digariskan dalam syariah. Pada Bab III, misalnya, penulis mencoba mengutip secara berimbang pendapat-pendapat ulama serta perdebatan mereka tentang halal haramnya asuransi. Beliau berkesimpulan bahwa sesungguhnya   perbedaan pendapat di kalangan para ahli hukum Islam sekarang tentang asuransi, lebih disebabkan karena mereka tidak mempunyai gambaran yang utuh tentang ta’min (asuransi) itu sendiri. Di samping itu, para ulama juga tidak memahami secara utuh, bagaimana konsep dan sistem operasional dan format kontrak-kontrak asuransi, baik asuransi konvensional maupun asuransi syariah.
 Untuk langkah ini, Saudara Syakir patut kita berikan applause karena beliau tidak memiliki latar akademis dalam bidang syariah. Sungguhpun demikian tidak lengkapnya perangkat ilmu ushul fiqih yang dimiliki Syakir menjadikan ia “terkaget-kaget” dengan “perangai” sebagian cendekiawan atau ulama. Padahal dalam kajian minhajul ijtihad itu merupakan suatu fenomena umum sesuai dengan kaidah al-hukmu ‘ala al-syai‘ far ‘un ‘an tashawwurihi  yang artinya hukum yang diberikan oleh seorang hakim atau mujtahid atau faqih terhadap satu perkara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pemahaman hakim atau mujtahid tadi terhadap perkara tersebut. Seandainya seorang cendekiawan tidak mengerti kaidah-kaidah ta’min apalagi sistem operasional asuransi tidak aneh jika ia berpendapat miring terhadap asuransi termasuk yang syariah sekalipun.
      Dalam pembahasan tentang asuransi dengan hakikat qadha dan qadar atau taqdir, misalnya, masih banyak kalangan cendekiawan yang melihat bahwa berasuransi sama dengan melawan taqdir dan mengurangi tawakal kepada Allah swt.. Ini jelas merupakan kesalahan besar yang sangat fatal akibatnya. Untuk meluruskan kesalahan ini perlu didudukkan secara jelas apa yang dimaksud dengan berasuransi dan bagaimana kaitannya dengan urusan taqdir terutama yang berkaitan dengan kematian.
      Dalam pandangan Islam, kematian adalah urusan Allah dan manusia tidak memiliki secuil kemampuan pun untuk memajukan atau menahan kedatangannya. Satu satunya yang manusia mampu mengantisipasi hanyalah “dampak finansial” yang muncul bila sang pencari nafkah utama meninggal dunia. Yang diasuransikan bukanlah jiwanya, karena jiwa adalah milik Allah. Apa yang diupayakan untuk diminimilkan adalah risiko keuangan sepeninggal si almarhum. Oleh karena itu, penamaan asuransi jiwa merupakan kesalahan terbesar dalam dunia asuransi. Yang benar adalah asuransi keluarga atau lebih tepatnya asuransi finansial keluarga. Hal ini mengingat seluruh manfaat asuransi akan diterima oleh keluarga yang meninggal. Yang meninggal dunia hanya akan membawa kain kafan dan menghabiskan sedikit biaya untuk penggalian kuburnya.
      Berkaitan dengan ikhtiar, Allah swt. meminta manusia untuk hidup rapi penuh rencana dan strategi. Perencanaan yang baik bukan saja dalam mencari nafkah dan menggapai ridha Ilahi tetapi juga dalam mengantisipasi musibah dan kemalangan. Di antara cara yang dilakukan manusia dalam antisipasi ini antara lain dengan menabung atau meminjam dari kerabat dan handai-taulan. Hanya saja terkadang tabungan terlalu kecil dibandingkan dengan besarnya biaya musibah, demikian juga pinjaman tidak selalu tersedia setiap saat. Di sinilah manusia harus mengupayakan cara lain berupa bersama sama saling membantu, saling menanggung dan saling menjamin, ta’awuni, tadhamuni, takafuli.
      Dengan paradigma ini berasuransi bukanlah suatu upaya melawan takdir, tetapi justru melakukan ikhtiar dan hidup penuh dengan rencana sesuai anjuran Allah. Yang dilarang adalah bila dengan mengambil skema asuransi kepercayaan kepada Allah menjadi berkurang dan meredup.

Dari Takaful Ijtimai (Social Insurance) ke Takaful Tijari (Commercial Insurance)
 Jika kita kaji secara dalam dan objektif, asuransi adalah suatu konsep sangat relevan dengan maqashidusy syariah  ‘tujuan-tujuan umum syariah’ yang diserukan  oleh nash-nash  syariah. Karena konsep dan sistem asuransi sesungguhnya sangat mirip dengan ta’awun yang telah diatur dengan rapi dalam literatur semua mazhab fiqih. Atas dasar ta’awun  jika sebagian masyarakat  ditimpa musibah maka  semua saling menolong dalam menghadapi dan mengantisipasinya, melalui sedikit subsidi dan bantuan. Inilah yang melandasi institusi sedekah, infak, hibah, waqaf, manihah, athaya, hadiah, i‘arah bahkan zakat sekalipun.
      Menurut hemat saya, bahwa tidak ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) dalam kebolehan asuransi menurut makna di atas, yaitu ta’awun dan tadhamun antara sejumlah besar manusia dalam memperbaiki dan mengganti akibat-akibat peristiwa yang terjadi. Akan tetapi, ikhtilaf kemudian terjadi dalam cara-cara merealisasikan dan mempraktikkan teori dan sistem asuransi tersebut, terutama  ketika membawa semangat takaful ijtimai (social insurance) menjadi takaful tijari.
      Tidak dapat dimungkiri bahwa sedekah, infak, hibah, waqaf, manihah, athaya, hadiah, i‘arah adalah instrumen takaful ijtimai yang amat kokoh dan solid, serta merupakan ciri khas sistem distribusi Islam yang unik. Sungguhpun demikian, kecuali zakat dan infak ala al-a ‘ilah  ‘nafkah pada keluarga’, semua instrumen tersebut bersifat recommended tidak obligatory sehingga bila ada sebagian anggota masyarakat mendapat musibah kita tidak bisa mewajibkan saudara kita untuk membantu meringankan musibah tepat pada waktunya dan dalam jumlah yang dibutuhkan. Karena sifatnya recommendable maka mereka akan memberikan bantuan sesuai dengan rencananya, pada waktu ingatnya dan dalam jumlah ala kadarnya.
      Di sinilah terobosan baru harus dilakukan. Para cendekiawan muslim harus mencari landasan dasar lain, seperti al-aqilah, at-ta’min, at-tabarru, dan at-takaful yang dipadukan dengan konsep mudharabah, al-wadiah dan al-ijarah.  Secara garis besar racikan dari prinsip-prinsip muamalah tersebut dapat dibagi ke dalam dua produk besar produk atas dasar saving dan nonsaving. Untuk dana nonsaving, misalnya, setiap premi yang dibayar oleh peserta akan masuk ke rekening tabarru. Rekening tabarru adalah kumpulan dana yang telah diniatkan oleh peserta sebagai iuran dan kebajikan untuk tujuan saling menolong dan saling membantu, dan dibayarkan bila peserta meninggal dunia, perjanjian  telah berakhir (jika ada surplus dana)
Akumulasi dana tersebut akan diinvestasikan sesuai dengan syariat Islam. Keuntungan hasil investasi setelah dikurangi dengan beban asuransi (klaim dan premi reassurance), akan dibagi antara peserta dan perusahaan menurut prinsip al-mudharabah dalam suatu perbandingan tetap berdasarkan perjanjian kerja sama antara perusahaan (takaful) dan peserta. Sementara untuk dana saving premi yang dibayarkan peserta akan dialokasikan sebagian besarnya ke dalam rekening investasi peserta dan sebagian kecilnya ke dalam rekening tabarru. Seperti halnya dana nonsaving, kedua jenis rekening akan diinvestasikan, dialokasikan untuk membayar klaim (akumulasi tabarru), dan  dibagi hasilkan dengan perusahaan (akumulasi dana investasi).
Berdasarkan sistem ini perusahaan asuransi mendapatkan keuntungan dari empat sumber utama: bagi hasil Surplus underwriting, bagi hasil investasi, dana pemegang saham, dan loading (kontribusi biaya).
Sungguhpun demikian, prinsip mudharabah ternyata bukanlah satu satunya kaidah muamalah yang menjadi tulang punggung sistem operasional takaful. Dalam perkembangannya,  prinsip ini sudah mulai ditinggalkan oleh  pelopor utamanya: Syarikat  Takaful Malaysia. Saat ini beberapa asuransi syariah di belahan dunia lain, termasuk Malaysia sendiri dan Indonesia, sudah mulai meninggalkan prinsip mudharabah sebagai dasar utama kontrak asuransi. Kini mayoritas asuransi syariah cenderung menggunakan kombinasi akad wakalah, wadiah, ijarah, musahamah, dan akad-akad yang lainnya, karena selain tetap sesuai akad syariah juga lebih marketable, dan lebih dapat memuaskan bagi semua stakeholders. Apa pun yang terjadi dengan pergeseran penggunaan akad ini, pada hakikatnya menunjukkan betapa luas dan luwesnya sistem muamalah dalam Islam.

Buku Takaful yang Musyakkal: Rooms for Improvement
Hampir sulit sesungguhnya mencari kelemahan buku ini. Penyusun telah menghabiskan waktu ribuan jam guna menyatukan serpihan-serpihan pembahasan menjadi satu karya ilmiah yang langka. Dengan penuh dedikasi, penulis juga sudah menginformasikan dari mana satu ide diambil. Hal ini tecermin dari footnote dan ratusan rujukan yang tersusun rapi.  Buku ini juga telah berhasil  membahas sistem operasional asuransi jiwa (life insurance) dan asuransi kerugian (general insurance) sekaligus dalam satu buku. Hal ini sudah tentu dapat memudahkan bagi pembaca dan pemerhati ekonomi syariah untuk memahami konsep asuransi syariah secara utuh (menyeluruh). Pada buku-buku asuransi (konvensional), dikotomi life dan general sangat kuat, dan penulisan buku life insurance  dan general insurance selalu terpisah dengan penulis yang berbeda pula. Seringkali seorang praktisi yang ahli dalam bidang asuransi jiwa (life) belum tentu ahli dalam bidang asuransi kerugian (general).
 Sungguhpun demikian, ada beberapa catatan yang dapat memperbaiki dalam buku ini. Pertama gaya penulisan yang cenderung long sentence dengan memaksakan beberapa ide pokok untuk dimasukkan dalam satu kalimat ini. Bagi seorang yang sudah lama berkecimpung dalam dunia asuransi tentu hal ini tidak terlalu menjadi masalah. Akan tetapi, pembaca yang pemula atau mahasiswa yang sedang melakukan penelitian harus membaca dua tiga kali sebelum mampu menangkap esensi pesan penulis. Kecenderungan ini muncul karena penulis adalah seorang orator sebelum menjadi writer. Sebagai pembicara publik, jelas cara berpikirnya cepat dan cenderung berlari, bila tidak dilakukan sinkronisasi seringkali kecepatan nalar dan lisan melebihi kecepatan tangan dan tulisan. Saya berharap tim editor Gema Insani Press dapat melakukan proses editing yang “cantik” sehingga buah pikiran Saudara Syakir yang “cepat” dapat dinikmati tanpa “guncangan”.
Kedua buku ini cenderung memaksakan untuk masuknya beberapa bab yang bukan bahasan inti asuransi. Hal ini tampak sangat jelas dalam pembahasan Good Corporate Governance, Strategi Marketing Asuransi Syariah, Sistem Akuntansi, Dewan Pengawas Syariah, Arbitrase Syariah, dan sebagainya. Dalam manajemen marketing, misalnya, penulis tampak membahas konsep marketing dari mulai Marketing Warfare (Perang Pemasaran), Strategic Business Architecture (Arsitektur Bisnis Strategis) dan Marketing Strategi (Strategi Pemasaran). Khusus untuk yang terakhir penulis menguraikannya secara sangat detail mencakup segmentation (segmentasi), targeting (target pasar), positioning (penentuan posisi). Demikian juga pembahasan marketing tactic (taktik pemasaran), meliputi differentiation (diferensiasi), marketing mix (bauran pemasaran), selling (penjualan). sementara marketing value (nilai pemasaran) mencakup brand (merek), service (servis), process (proses). Membahas konsep pemasaran dengan sangat detail bukan saja panjang dan lebar tetapi sudah cenderung terlalu lebar. Pendekatan seperti ini dapat dimaklumi, mengingat sehari-hari penulis adalah Direktur Pemasaran PT Syarikat Takaful Indonesia, satu holding company yang menangani dua perusahaan Asuransi Takaful Keluarga dan Asuransi Takaful Umum. Di samping itu, penulis juga adalah Associate Partner Hermawan Kartajaya, Pimpinan Mark Plus Consulting.
Catatan lain adalah upaya penulis untuk masuk terlalu jauh ke areal yang bukan bidang utamanya (core competence). Pada bagian akhir buku ini penulis membahas prinsip-prinsip muamalah secara panjang lebar. Ada sebelas  prinsip muamalah (at-tauhid, al-‘adl, adz-dzulm, at-ta’awun, al-amanah, ridha, tsiqah, riswah, khitmah, tathfif, dan maslahah) yang dibahas di samping gharar, maisir, dan riba. Menurut hemat saya, upaya ini merupakan redundancy dari karya-karya yang sudah sangat banyak dalam bidang nadzariyatul aqd (teori akad dalam Islam). Pembahasan ini bisa didapatkan di hampir semua buku madkal ila al-fiqh (introduction to fiqh) seperti karya az-Zuhaily, Zarqa, Shartowi, Uqlah, Kamali, Sanhuri dan banyak lagi yang lainnya. Di samping itu, akan lebih tepat sekiranya penggolongan prinsip-prinsip muamalah ini dibagi dalam dua bagian, misalnya prinsip-prinsip yang terlarang dan prinsip-prinsip yang dianjurkan, sehingga tidak bercampur-baur jadi satu. Sebagai contoh dapat dilihat dalam kumpulan fatwa DSN MUI yang telah mengklasifikasi prinsip-prinsip yang terlarang dalam muamalah misalnya: riba, maysir, gharar, zhalim, dharar (bahaya), dan riswah (suap). Pembahasan tentang prinsip-prinsip muamalah ini mungkin lebih tepat jika dibuat dalam buku yang terpisah dan ditulis melalui kolaborasi dengan pakar yang lebih khusus dalam bidang syariah. Oleh karena banyak hal yang masih perlu dikaji lebih dalam lagi pada bagian ini.
Tidak berlebihan bila buku ini merupakan buku takaful yang musyakkal bagaikan cocktail atau gado-gado yang merupakan kelemahan sekaligus kelebihan buku ini juga.

Kesimpulan
      Membaca buku ini semakin meyakinkan kita bahwa betapa luasnya khazanah fiqih Islam, khususnya dalam bidang muamalah. Betapa konsep muamalah, termasuk prinsip ta’awun, tadhamun dan takaful, telah demikian lengkap dan telah dipraktikkan sejak generasi sahabat  hingga beratus-ratus tahun kemudian. Namun sayang, sejurus dengan terpinggirkannya Islam dalam percaturan peradaban untuk beberapa abad, aplikasi dari konsep mulia tersebut sempat tertidurkan. Konsep asuransi syariah kemudian muncul kembali dalam wacana ulama modern, terutama setelah karya monumental Syekh Abu Zahra dan Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa yang kemudian banyak menjadi rujukan  cendekiawan kontemporer.
      Dalam perkembangannya asuransi syariah telah berkembang bukan saja di dunia Islam, bahkan juga di beberapa belahan dunia lainnya termasuk Amerika, Eropa, dan Australia. Produk-produknya juga beragam mencakup asuransi kesehatan, pendidikan, kecelakaan, kendaraan bermotor, dan rumah tinggal. Lebih dari itu, asuransi syariah juga mampu melayani dari sepeda motor yang bernilai 8 juta rupiah hingga kapal pesiar yang harganya lebih dari 800 miliar rupiah. 
Sistem dan produk serta layanan asuransi syariah adalah salah satu bagian rahmat Islam untuk dunia. Karena dalam menghadapi realitas kehidupan sehari-hari setiap insan tidak bisa lepas dari risiko dan musibah. Sementara Allah swt. menyuruh kita untuk senantiasa berikhtiar mengantisipasinya. Namun dalam melakukan ikhtiar ada yang sesuai dengan syariah ada juga yang bertentangan. Sistem ta’min, dan ta’awun serta menghindari riba dalam pengelolaan dananya adalah yang sesuai dengan aturan syariah. Insya Allah.
      Semoga buku ini dapat memberikan banyak pencerahan kepada pembaca sekalian dan kita mendoakan agar Saudara Syakir diberikan kekuatan oleh Allah swt. untuk terus berkarya baik sebagai praktisi dan penulis. Amin.

Jakarta, 29 Mei 2004


Dr. H. Muhammad Syafii Antonio, MSc